Clarify The Marriage History of the Prophet
with Aisha (r.a)
Tulisan
ini mencoba mengklarifikasi riwayat pernikahan Rasulullah dengan Aisyah r.a
yang telah berabad-abad lamanya diyakini secara tidak rasional. Dan efeknya,
orientalis Barat pun memanfaatkan cela argumen data pernikahan ini sebagai alat
tuduh terhadap Rasulullah dengan menganggapnya Pedofilia. Mari kita buktikan.
Secara keseluruhan data-data yang dipaparkan tulisan ini diambil dari hasil
riset Dr. M. Syafii Antonio dalam bukunya, Muhammad SAW The Super
Leader Super Manager (2007).
This paper attempts to
clarify the history of the Prophet with Aisha's marriage that had for centuries
believed to be irrational. And the effect, western orientalists also take
advantage of this gaps data argument marriage as a means of accusations against
the Prophet as pedophilia. Let us prove it. Overall the data presented this
paper is taken from the results of research Dr. M. Syafii Antonio in his book, Muhammad SAW The Super Leader Super Manager
(2007).
Tahun
1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran
dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur dibawah 18 tahun
, dan calon isteri dibawah 16 tahun.
In 1923, the marriage registrar in Egypt were instructed to refuse
registration and refused to issue a marriage license for candidates husband under
18 years old and candidates wife under 16 years old.
Tahun 1931, Sidang dalam organisasi - organisasi hukum dan syariah
menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur yang
disebutkan diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982).
In 1931, the trial in the law organizations and sharia establishes
to not respond to marriage for couples with age as mentioned above (Women in
Muslim Family Law, John Esposito, 1982).
Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas
Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima.
It shows that although in Egypt state that the majority of Muslim marriage
age children is unacceptable.
Nabi memang seorang yang gentleman dan dia tidak
menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara
salah dalam literatur hadist. Lebih jauh, Saya pikir bahwa cerita yang
menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya. Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang
menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi,
hadist-hadist tersebut sangat bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti
melawan khayalan yang diceritakan Hisyanm ibnu `Urwah dan untuk membersihkan
nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi
gadis polos berumur 7 tahun.
The Prophet is a gentleman and he did not marry an innocent girl
aged 7 or 9 years. Age of Aisha has been wrongly recorded in the hadith
literature. Furthermore, I think that the story that mentions this is not to be
trusted. Some hadith (Prophet’s traditions) which tells the story of Aisha's
age at the time of her marriage to the Prophet, the hadiths are very
problematic. I will present some evidence against imaginary told ibn `Urwah
Hisyanm and to clear the name of the Prophet of designation an irresponsible
parent who married innocent girl 7 years old.
9 Bukti
Nabi Muhammad TIDAK Menikahi Aisyah Dibawah Umur
9 Evidences of the
Prophet Muhammad Marry Aisha NOT Underage
1. Kualitas
Sumber Hadits
Quality Source Hadith
Hadits
terkait umur Aisyah saat menikah tergolong problematic alias dho’if. Sebagaian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang
tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang
didengarnya sendiri dari ayahnya. Yang mana
seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist yang sama juga. Mengherankan
mengapa hanya dia saja satu-satunya yang pernah menyatakan tentang umur
pernikahan ‘Aisyah r.a tersebut. Tidak ada
seorangpun yang di Medinah, dimana Hisyam ibn `Urwah tinggal hingga berusia 71 tahun baru
menceritakan hal ini, disamping kenyataan ada banyak murid di Madinah termasuk
yang terkenal Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini. Riwayat ini berasal
dari orang-orang Irak, dimana Hisham tinggal disana dan pindah dari Madinah ke
Irak pada usia tua. Hisyam ibn ‘Urwah pindah dan menetap di negeri
itu pada usia 71 tahun.
Hadith related to Aisha’s age when she married classified as
problematic alias dho'if. Most of the history that tells it which is printed on
all hadiths narrated only by Hisham ibn `Urwah, he heard himself from his
father. Where it should be at least 2 or 3 people have noted the same hadith. Wonder
why he just the only one who ever expressed about the Ayesha’s marriage age. No
one in Madinah, where Hisham ibn `Urwah lived up to 71 years old said this new,
besides the fact that there are many students in Madinah including the famous
Malik ibn Anas, not mention this. This story comes from the people of Iraq, where
Hisham ibn ‘Urwah lived there and moved from Madina to Iraq in old age. Hisham
ibn ‘Urwah moved and settled in the country at the age of 71 years old.
Tahdzib al Tahdzib, salah satu buku yang terkenal yang berisi
catatan para periwayat hadist, menurut Ya’qub ibn Syaibah mencatat : ”Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat
diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq.” Shaibah menambahkan, bahwa Malik bin Anas menolak
penuturan Hisyam yang dicatat dari orang-orang
Iraq. (Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib. Dar Ihya al-Turats al-Islami, Jilid II, hal.
50).
Tahdzib al Tahdzib, one of the famous book that
contains a record of the narrators of hadith, by Ya'qub ibn Abi Shaybah notes :
“Hisham is trustworthy, his narrative can
be accepted, except what he told after moving to Iraq.” Shaybah added, that
Malik bin Anas reject the narrative of Hisham noted from the people of Iraq. (Ibn Hajar
Al-Asqalani, Tahdzib
al Tahdzib. Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, Volume II, p.50).
Mizanu’l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup
pada periwayat hadist Rasulullah Saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham
sangat menurun.” (Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l athriyyah, Sheikhupura,
Pakistan, Vol. 4, p. 301). (Al-Maktabah
Al-Athriyah, Jilid 4, hal. 301). Akhirnya, riwayat umur pernikahan
Aisyah yang bersumber dari Hisyam ibnu ‘Urwah, ditolak.
Mizanu’l-ai`tidal, another book which contains the
narrators biographical description of Prophet Rasulullah record, “when old age, Hisham’s memory is
decreased.” (Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi,
Al-Maktabatu’l athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301). (Al-Maktabah
Al-Athriyah, Volume 4, p. 301). Finally
Ayesha’s age marriage history sourced from Hisham ibn 'Urwah, rejected.
* KESIMPULAN :
Berdasarkan referensi ini, ingatan Hisham
sangat jelek dan penuturannya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa
dipercaya, sehingga penuturannya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah
tidak kredibel.
* CONCLUSION :
Based on this reference, Hisham Ibn
“Urwah’s memories is very bad and his narrative
after moving into Iraq are not to be trusted, so that his statement about
Ayesha’s age was not credible.
Kronologis Kejadian
Chronological Order of
Events
Pra-610 M : Zaman Jahiliyah (era
pra-Islam) sebelum wahyu diturunkan
Pre-610 AD : The times of Ignorance (pre-Islamic era) before
revelation revealed
610 M : Permulaan wahyu pertama diturunkan
610 AD : The beginning of the first revelation was
revealed
610 M : Abu Bakar ra. masuk Islam
610 AD : Abu Bakr embraced Islam
613 M : Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan Islam
secara terbuka
613 AD : Prophet Muhammad began preaching Islam openly
615 M : Hijrah I umat Islam ke Habsyah (sekarang
bernama Etiopia)
615 AD : Muslims first migrated to Habasyah (now called
Ethiopia)
616 M : Umar bin al-Khattab masuk Islam
616 AD : Umar bin al-Khattab embraced Islam
620 M : Rasulullah meminang Aisyah r.a
620 AD : Prophet Muhammad proposed Aisha r.a
622 M : Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Madinah
622 AD : Migrated to Yathrib, later renamed Medina
623/624 M : Nabi Muhammad SAW menikahi Aisyah r.a
623/624 AD : Prophet Muhammad married Aisha (r.a.)
2. Melamar
Propose
Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibnu `Urwah, Ibnu Hunbal and
Ibnu Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada
usia 9 tahun.
According to Tabari (also according to Hisham ibn `Urwah Ibn
Hunbal and Ibn Sad), Aisha proposed at 7 years old and began to marry at 9
years old.
Jika
Aisyah dinikahkan pada umur 6 tahun, itu berarti Aisyah lahir pada tahun 613 M.
If Aisha was married at 6 years old, it means that Aisha was
born in the year 613 AD.
Padahal
menurut Al-Thabari, semua anak Abu Bakar (r.a.) berjumlah 4 orang, lahir pada
zaman Jahiliyah dari 2 istrinya, yaitu sebelum tahun 610 M. (Tarikhu’l-umam
wa’l-mamlu’k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut,
1979).
Whereas according to Al-Tabari, all
of Abu Bakr’s (r.a.) children amounted to 4 people, born in the days of
ignorance of his 2 wives, ie before the year 610 AD.
Jika Aisyah dilamar 620 M (Aisyah berumur 7 tahun) dan berumah
tangga pada tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa
Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari,
Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah
usai (610 M).
If Aisha proposed 620 AD (Aisha’s was 7 years old) and married
in 623/624 AD (age 9), this indicates that Aisha was born about 613 AD. So based on Al Thabari’s writings, Aisha
should have been born in 613 AD, ie after 3 year period of ignorance is over
(610 AD).
Tabari
juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika Aisyah
dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun
ketika dinikahi. Tetapi intinya, Tabari mengalami kontradiksi dalam
periwayatannya.
Thabari also states that Aisha was born at the time of ignorance.
If Ayesha was born in the era of Ignorance, Aisha should have a minimum of 14
years old when married. But the point, Thabari experienced a contradiction in his
narrations.
* KESIMPULAN : Al-Tabari
tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.
* CONCLUSION : Al-Tabari
is not reliable about Aisha’s age when she married.
3. Umur
Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah
Aisha’s age if associated with
Fatimah’s Age
Menurut Ibnu Hajar, “Fatima
dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun…
Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah ”. (Al-isabah fi tamyizi’l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377,
Maktabatu’l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).
According to Ibn
Hajar, "Fatima was born when the
Kaaba rebuilt, when the Prophet was 35 years old ... Fatima 5 years older than
Aisha." (Al-Isabah fi
tamyizi'l-Sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu'l-Riyadh
al-Haditha, al-Riyadh, 1978).
Jika pernyataan Ibnu Hajar berdasarkan fakta, berarti Aisyah
dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Rasulullah
pada saat Rasulullah berusia 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah
12 tahun.
If Ibn Hajar‘s statement based on facts, means Aisha was born
when the Prophet Muhammad was 40 years old. If Aisha married to Prophet
Muhammad when the Prophet Muhammad was 52 years old, so Aisha’s age when she
married is 12 years old.
* KESIMPULAN :
Ibnu Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal
kontradiksi satu sama lain. Itu berarti bahwa riwayat Aisyah menikah pada usia
7 tahun adalah salah.
* CONCLUSION
:
Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham and Ibn Humbal contradiction with each other. Means
the history of Aisha married at 7 years old is wrong.
4. Umur
Aisyah dihitung dari umur Asma’
Aisha’s age is calculated from the age of
Asma's age
Jika
Aisyah ra dinikahkan sebelum 620 M, maka beliau dinikahkan pada umur di atas 10
tahun dan hidup sebagai suami isteri dengan Nabi Muhammad SAW dalam umur di
atas 13 tahun.
If Aisha (r.a.) was married before 620 AD, then she married at
the age above 10 years old and live as husband and wife with the Prophet
Muhammad at the age above 13 years old.
Jika
di atas 13 tahun, dalam umur berapa pastinya beliau dinikahkan dan serumah? Untuk
itu kita perlu melihat kepada kakak perempuan Aisyah ra. yaitu Asma.
If over 13 years old, surely in what age she married and at
home? For that we need to look to Aisha (r.a.) ‘s older sister ie Asma’.
Menurut
Abdul Rahman ibn Abi Zannad, “Asma’ lebih
tua 10 tahun dari Aisyah.”
(Siyar A`la’ma’l-nubala’, Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992). (At-Thabari, Tarikh Al-Mamluk, Jilid 4, hal. 50. Tabari meninggal 922 M).
(Siyar A`la’ma’l-nubala’, Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992). (At-Thabari, Tarikh Al-Mamluk, Jilid 4, hal. 50. Tabari meninggal 922 M).
According to Abdul Rahman ibn Abi Zannad, “Asma was 10
years older than Aisha.”
(Siyar A`la’ma’l-nubala’,
Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992). (At-Thabari,
Tarikh Al-Mamluk, Volume 4, p. 50. Thabari died 922AD ).
Menurut Ibnu Kathir, “Asma’ lebih tua 10 tahun dari adiknya,
Aisyah.”
(Al-Bidayah wa’l-nihayah, IbnKathir, Jilid. 8, hal. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).
(Al-Bidayah wa’l-nihayah, IbnKathir, Jilid. 8, hal. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).
According to Ibn Kathir, “Asma’ was 10 years older than her
sister, Aisha.”
(Al-Bidayah wa’l-nihayah, IbnKathir, Vol. 8, p. 371,Dar
al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).
Menurut Ibnu Kathir, Asma’ melihat anaknya (Abdullah Ibn Zubair)
dibunuh pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut
riwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari
lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100
hari kemudian. Ketika Asma meninggal, dia berusia 100 tahun. (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Jilid.
8, hal. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933).
According to Ibn Kathir, Asma’ saw
her son (Abdullah Ibn Zubair) was killed in the year 73 AH, and 5 days later
Asma' died. According to other narratives, she died 10 or 20 days later. The
most powerful narrative that is 100 days later. When Asma' dies, she was 100
years old. (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr
al-`arabi, Al- jizah, 1933).
Menurut
Ibn Hajar Al-Asqalani, “Asma hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal pada
tahun 73 or 74 H.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic,
Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow). (Al-Asqalani, Taqrib
al-Tahzib, hal. 654).
According to Ibn Hajar Al-Asqalani, “Asma’
lived to be 100 years and died in the year 73 or 74 AH.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn
Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow). (Al-Asqalani,
Taqrib al-Tahzib, p. 654).
Menurut
sebagian besar ahli sejarah, Asma’, saudara tertua dari Aisyah berselisih usia
10 tahun. Jika Asma’ wafat pada usia 100 tahun di tahun 73 H, Asma’
seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M).
According to most historians, Asma’, Aisha’s
the oldest sister different age of 10 years. If Asma’ died at the age of 100
years in the year 73 AH, Asma' was supposed aged 27 or 28 years old when the
hijra (622 AD).
Jika
Asma’ berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga),
Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun (27 atau 28) – 10 = 17
atau 18 tahun). Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika Aisyah berumah
tangga.
If Asma’ was 27 or 28 years old when the hijra (when Aisha
married), Aisha should have 17 or 18 years old (27 or 28) – 10 = 17 or 18 years
old). So, Aisha was 17 or 18 years old when she married.
Berdasarkan
Ibnu Hajar, Ibn Kathir, and Abdurrahman Ibn Abi Zannad, usia Aisyah ketika beliau berumah
tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.
According to Ibn Hajar, Ibn Kathir and Abdurrahman Ibn Abi
Zannad, Aisha’s age when she married the Prophet was 19 or 20 years old.
* KESIMPULAN :
Ibn Hajar tidak valid dalam meriwatkan usia Aisyah.
* CONCLUSION
:
Ibn Hajar is not valid in narrative the Aisha’s age.
5. Perang Badar dan perang Uhud
Battle
of Badr and Uhud
Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijelaskan
dalam hadist Muslim, (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab
karahiyati’l-isti`anah fi’l-ghazwi bikafir).
A narrative regarding Aisha's participation in the Battle of Badr
is described in Muslim hadith, (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab
karahiyati’l-isti`anah fi’l-ghazwi bikafir).
Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam
perjalanan selama perang Badar, mengatakan, “ketika kita mencapai Shajarah”.
Dari pernyataan ini terlihat jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju
Badar.
Aisya, when she told one of the crucial moments in the trip
during the Battle of Badr, said, “when we reached Shajarah”. From this
statement clearly visible, Aisha is a member of the journey to the Battle of
Badr.
Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam perang Uhud
tercatat dalam Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab. Ghazwi’l-nisa’ wa
qitalihinnama`a’lrijal), “Anas mencatat
bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. (Pada hari
itu) saya melihat Aisyah dan Ummu-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan
sedikit pakaiannya (untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tersebut).”
A narrative regarding Aisha's participation in the battle of
Uhud recorded in Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Chapter Ghazwi’l-nisa’ wa
qitalihinnama`a’lrijal), “Anas reports
that on the day of Uhud, people can not stand close to the Prophet Muhammad. (On
that day) I saw Aisha and Ummu Sulaym from afar. They roll up a little clothes
(to avoid any hindrance in the movement).”
Lagi-lagi,
hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud and Badr.
Again, this indicates that Aisha participated in the battle of
Uhud and Badr.
Diriwayatkan
oleh Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b), “Ibn
`Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi
dalam Uhud, pada saat itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang
Khandaq, ketika dia berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam
perang tersebut.”
Narrated by Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Chapter
Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b), “Ibn `Umar states that the Prophet
Muhammad did not allow himself to participate in the battle of Uhud, at the
time he was 14 years old. But when the
battle of Khandaq, when he was 15 years old, Prophet Muhammad allows him to participated
in the battle.”
Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun
akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyah
ikut dalam perang badar dan Uhud.
Based on the above narratives, (a) children under 15 years old
will be sent home and not allowed to participate in the war, and (b) Aisha
participated in the battle of Badr and Uhud.
* KESIMPULAN :
Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas
mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal
berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria
dalam medan perang berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi
mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.
* CONCLUSION
:
Aisha participated in the battle of Badr and Uhud clearly indicates that she
is not 9 year old when it, but at least age 15 years old. Besides that, women
accompany men to the battlefields serves to help, not to be a burden for them. This
is another evidence of the contradictions of Aisha’s age marriage.
6. 54. Surat Al-Qamar (Bulan)
54. Surah Al-Qamar (The Moon)
Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke-8
sebelum Hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat
mengatakan hal ini, “Saya seorang gadis
muda (jariyah dalam bahasa arab) ketika Surah Al-Qamar diturunkan”. (Shahih
Bukhari, kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu
adha’ wa amarr).
According to some narrations, Aisha was born on the 8th year
before Hijra. But according to other sources in Bukhari, Aisha reported to have
said, “I am a young girl (jariyah in
Arabic) when Surah Al-Qamar was revealed”. (Sahih Bukhari, kitabu’l-tafsir,
Chap. Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).
Surah ke 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke-8 sebelum hijriyah
(The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tersebut
diturunkan pada tahun 614 M. Jika Aisyah memulai berumahtangga dengan
Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru
lahir (sibyah dalam bahasa Arab) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut
riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi
yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang
masih suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon). Jadi, Aisyah, telah menjadi
jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya
surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika
dinikahi oleh Nabi.
Sura 54 of the Koran were revealed in the 8th before hijra (The
Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), indicates that the surah was revealed in
614 AD. If Aisha started married to the Prophet Muhammad at 9 years old in 623 AD
or 624 AD, she was a newborn (sibyah in Arabic) at the time of Surah Al-Qamar
was revealed. According to the above narrative, actually seems that Aisha was a
young girl, not newborns when revelation of Al-Qamar. Jariyah means young girl
still likes to play (Lane’s Arabic English Lexicon). So, Aisha has become
jariyah not sabyah (baby), so has aged 6-13 years old at the time of revelation
of Al-Qamar, and therefore it is definitely 14-21 years old when she married
the Prophet Muhammad.
* KESIMPULAN :
Ayat ini juga berlawanan dengan Aisyah berusia
9 tahun saat menikah.
* CONCLUSION :
This verse is also contrary to the narration Aisha was 9 years old when she
married.
7. Terminologi
bahasa Arab
Arabic Terminology
Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, setelah meninggalnya isteri
pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi
untuk menikah lagi. Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran
Khaulah. Khaulah berkata, “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau
seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya tentang
identitas gadis tersebut (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.
According to Ahmad ibn Hanbal’s narration, after the Prophet
Muhammad's first wife died, Khadijah, Khaulah came to the Prophet and advised
the Prophet to marry again. The Prophet asked her about the choices that exist
in the Khaulah’s mind. Khaulah said, “You can marry a girl (bikr) or a woman
who ever married (thayyib)”. When the Prophet inquired about the identity of
the girl (bikr), Khaulah mentioned Aisha’s name.
Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata “bikr”
dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang
tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah “jariyah”. Bikr
disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum
punya pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa
Inggris “virgin”. Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun
bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad
ibn Hanbal, Jilid. 6, hal. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).
For people who know the Arabic language will be immediately
viewed that word “bikr” in Arabic not used to young girls aged 9 years old. The
correct word for a young girl who still like to play is “jariyah”. “Bikr” on
the other hand, is used for an unmarried woman and have not had experience with
marriage, as we know in English “virgin”. Therefore, obvious that a 9 years old
girl is not a “woman” (bikr) (Musnad
Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi,
Beirut).
* KESIMPULAN :
Arti literal dari kata “bikr - gadis”, dalam
hadist diatas adalah “wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam
pernikahan.” Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu
menikahnya.
* CONCLUSION
:
The literal meaning of the word “bikr – girl”, in the above hadith is “adult
women who have not had sexual experience in marriage”. Therefore, Aisha was an
adult woman of her marriage.
8. Teks Qur’an
Text Quran
Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita
perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kebingungan yang
diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah
dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis
belia berusia 7 tahun?
All Muslims agree that the Quran is a book of instructions. So,
we need to seek guidance from the Quran to clear the confusion created by the
narrator in the classical Islamic period about Aisha’s age and her marriage. Does
the Quran allow or disallow marriage of an immature child of 7 years old?
Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti
itu. Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik
dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim
juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri.
There are no verses that explicitly allow such marriage. There
is a verse, howsoever, that guides Muslims in educating and treating orphans.
Quran instructions regarding orphan children is also valid treatment applied to
our own own children alone.
Ayat tersebut mengatakan :
The verse says:
An-Nisaa'
(Wanita) : 5, “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya*, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
An-Nisā' (The Women) : 5, “And do not give the *weak-minded your property,
which Allah has made a means of sustenance for you, but provide for them with
it and clothe them and speak to them words of appropriate kindness”.
An-Nisaa’
(Wanita) : 6, “ Dan ujilah* anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin,
maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
persaksian itu)”.
An-Nisā' (The Women) : 6, “And test* the orphans [in their abilities] until they
reach marriageable age. Then if you perceive in them sound judgement, release
their property to them. And do not consume it excessively and quickly,
[anticipating] that they will grow up. And whoever, [when acting as guardian],
is self-sufficient should refrain [from taking a fee]; and whoever is poor -
let him take according to what is acceptable. Then when you release their
property to them, bring witnesses upon them. And sufficient is Allah as
Accountant.
Dalam
hal seorang anak yang ditinggal orang tuanya, seorang muslim diperintahkan
untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan
(d) menguji mereka terhadap kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum
mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.
In the case of a child abandoned by their parents, a Muslim is
commanded to (a) feed them, (b) provide clothing, (c) educate them, and (d)
test them to maturity "until the age of marriage" before entrusting
them with managing finances.
Disini, ayat Qur’an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti
terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang
objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan
harta-harta kepada mereka.
Here, the verses of the Qur'an states about the demands
meticulous proof of the level of intellectual maturity and physically through
objective test results before the age of marriage and to entrust the management
of property to them.
Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari
muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan
pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai
gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, gadis tersebut tidak
memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad
Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang
berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambi tugas sebagai isteri. Oleh karena itu
sangatlah sulit untuk mempercayai bahwa Abu Bakar sebagai seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya
yang masih belia berusia 7 tahun dengan Nabi yang berusia 50 tahun. Sama
sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia
berusia 7 tahun.
In above verses are very clearly, none of the Muslims who are
responsible will do the transfer of financial management to a young girl aged 7
years old. If we can not trust a young girl aged 7 years in managing finances, the
girl is not qualified intellectually and physically to get married. Ibn Hanbal
(Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol.6, p. 33 and 99) states that Aisha was 9 years
old were more interested in playing with her toys rather than taken the task as
a wife. Therefore, it is difficult to believe, that Abu Bakr as a Muslim figure,
would engaged his 7 years old girl to 50 year old Prophet. As difficult to
imagine that the Prophet Muhammad married a 7 years old young girl.
* KESIMPULAN :
Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan
menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karean itu, Cerita
pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.
* CONCLUSION
:
Aisha’s age marriage at 7 years old will against the legal maturity stated by
Koran. Therefore, the story of Aisha 7 year old marriage is a myth.
9. Izin Menikah
Marriage
license
Seorang
wanita harus ditanya dan dimintai persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan
menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p.
665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan
syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.
A woman should be questioned and asked for approval before the
wedding she did become valid (Mishakat al Masabiah, translation by James
Robson, Vol. I, p. 665). Islamically, credible consent of a woman is a basic
requirement for the validity of a marriage.
Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan
oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai keabsahan
sebuah pernikahan.
By developing this logical condition, approval given by immature
7 years old girl could not be authorized as the validity of a marriage.
* KESIMPULAN :
Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun
karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami tentang klausa
persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan, Rasulullah
menikahi Aisyah, seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.
* CONCLUSION
:
Prophet Muhammad did not marry a 7 year old girl because it will not meet the
basic requirements an Islamic marriage about clauses consent of the wife. Therefore,
there is only one possibility, the Prophet married Aisha, an adult woman
intellectually and physically.
RINGKASAN
SUMMARY
SUMMARY
Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau
laki-laki yang berusia 9 tahun. Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah
saw dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernah keberatan
dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi sebagaimana isi
beberapa riwayat.
There is no Arab tradition to marry a 9 years old girl or a boy.
Likewise, there is no marriage of the Prophet and Aisha when she was 9 years
old. Arab people never objected to this marriage, because
this had never happened, as the contents of some of history.
Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh
Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi
dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk
menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain,
termasuk Malik Ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq
adalah tidak dapat diandalkan. Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim
menunjukkan mereka bertentangan satu sama lain mengenai usia menikah bagi
Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi
dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi
yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.
Obvious, Ayesha’s age marriage at 9 years old narrative by
Hisham ibn `Urwah can not be regarded as truth, and the contradictions with
other narrations. Further, there is no real reason to accept Hisham ibn `Urwah’s
narratives as truth when other experts, including Malik Ibn Anas, see Hisham
ibn `Urwah’s narratives over in Iraq is not reliable. Statements of Thabari, Bukhari and Muslim shows
they contradict each other regarding the age of marriage for Aisha. Some
experts narrator suffered internal contradiction with its own narrative. So, Aisha
9 years old marriage history is not reliable because of the apparent
contradiction in the classical notes of Islamic history expert.
Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan
mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran
disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tersebut dan lebih
layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis
dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada
mereka tanggung jawab-tanggung jawab.
Therefore, there is no absolute reason to accept and trust Aisha
9 years old when she married as a truth caused quite a lot of background to
deny the history and deserve to be called as a myth. Further, Qur'an refusing
to marry immature boy and girl as it is not feasible to impose on them the
responsibility.
Mengenai pertanyaan yang diajukan oleh sebagian
non Muslim tentang pernikahan Rasulullah
dengan Aisyah ra. yang dianggap masih di bawah umur, itu pun termasuk
persoalan yang terkadang sulit dipahami. Tetapi, yang cukup mengherankan,
pertanyaan serupa tidak pernah terdengar dari musuh-musuh Rasulullah pada masa
beliau masih hidup. Ini artinya apa? Artinya, pernikahan Nabi saw. dengan
Aisyah ra. itu bukan suatu persoalan pada masa itu! Kritik orang terhadap
pernikahan Rasulullah Saw dengan Aisyah ra. yang dinilai masih di bawah umur, karena
pada umumnya orang-orang tersebut menggunakan standar zaman sekarang untuk
menilai sesuatu yang terjadi 14 abad yang lalu.
Regarding the questions raised by some non-Muslims about the
marriage of the Prophet Muhammad to Aisha that is still under age. It also
includes issues that sometimes are hard to comprehend. But, which is quite
surprising, similar questions are not unheard of enemies of the Prophet at the
time he was alive. What does this mean? It means Prophet Muhammad married Aisha (r.a.) was not an issue at that time! The
criticism of the marriage of the Prophet with Aisha still underage, because in
general people are using today's standards to judge something that happened 14
centuries ago.
M. Quraish Shihab dalam bukunya Membaca
Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih (Cet. I, Juni 2011), mengemukakan “keheranannya” terkait
kritik orang-orang terhadap pernikahan Rasulullah dengan Aisyah ra. Katanya,
“Ada kritik yang ditujukan kepada Nabi saw oleh sementara orang yang hidup
ratusan tahun setelah pernikahan tersebut, namun tidak terdengar kritik apa
pun, apalagi cemoohan, dari mereka yang semasa dengan Rasulullah walau dari musuh-musuh
beliau yang selalu berusaha mendiskreditkan beliau.” (halaman 530). Lebih
lanjut, M. Quraish Shihab mengatakan, “Ini karena pada masa lampau, sebelum dan
pada masa Rasul bahkan beberapa generasi sesudahnya, menikahi perempuan yang
seusia dengan anak kandung merupakan sesuatu yang lumrah dalam masyarakat umat
manusia. Terbaca dalam uraian yang lalu tentang perkawinan ayah Nabi, Abdullah,
bagaimana ayahnya, yakni Abdul Muththalib, juga menikahi perempuan yang sebaya
dengan istri anaknya, yakni Halah, anak paman Aminah.” (hlm 530).
M. Quraish Shihab in his book Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan
al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih (Edition I, June 2011), suggests
“his astonishment” amid criticism of the people against the Prophet's marriage
with Aisha. His said, “There is criticism directed toward the Prophet by while
people who lived hundreds of years after the marriage, but not heard any
criticism, moreover scorn, of their contemporaries Prophet even from his
enemies who are always trying to discredit him”. (page 530). Furthermore, M. Quraish Shihab said, “This is
because in the past, before and at the time of the Prophet even generations
later married women the same age as biological children is something that is
commonplace in the community of mankind. Read the description ago about the
marriage of the Prophet's father, Abdullah, namely Abdul Muttalib, as his
father had also married a woman the same age as his son’s wife, namely Halah, Aminah’s
uncle daughter”. (page.530).
Di halaman yang sama buku itu, Prof. Quraish Shihab juga
memaparkan fakta sejarah bahwa Umar bin Khaththab ra. menawarkan anaknya yang
muda belia, Hafshah, yang sebaya dengan Aisyah, untuk dinikahi Utsman ra. Juga
Umar bin al-Khaththab menikahi putri Ali bin Abi Thalib yang dapat dinilai
sebagai semacam pernikahan antara “kakek dengan cucu”. Demikian juga halnya
pernikahan Zaid ibn Haritsah, bekas anak angkat Rasulullah, dengan Ummu Aiman,
wanita yang mengasuh Nabi sewaktu kecil. Ini serupa juga dengan pernikahan
“nenek” dengan cucunya. Demikian kurang lebih uraian Prof. M. Quraish Shihab.
On the same page of the book, Prof. Quraish Shihab also
explained the historical fact that Umar Bin Khaththab (ra.) offer his young girl,
Hafshah, contemporaries Aisha, to marry Othman (ra.). Also Umar bin al-Khattab married
Ali bin Abi Thalib’s daughter, which can be considered as a kind of marriage
between “grandparents and granddaughter”. Similarly, Zaid ibn Haritha’s marriage,
Prophet Muhammad’s former foster child, with Ummu Aiman, women who take care of
the Prophet as a child. It is similar with grandmother with her grandson's
wedding. Thus more or less description of Prof. M. Quraish Shihab.
Jadi, dapat kita katakan bahwa pernikahan seorang lelaki tua
dengan perempuan yang relatif masih sangat muda adalah hal yang biasa pada
masyarakat masa itu. Bukan sesuatu yang aneh, apalagi aib. Dan itu bukan hanya
terjadi pada masyarakat Arab, tetapi juga pada masyarakat lain.
So, we can say that the marriage of an old man with a female
relative was still very young was common in the society at that time. Not
something strange, moreover disgrace. And it's not just happening in Arab
society, but also in other societies.
Raja Henry Ke-5, leluhur Ratu Elizabeth, Ratu
Inggris, sekitar 500 tahun yang lalu menikah dengan 6 orang gadis yang muda.
Bahkan hingga beberapa tahun yang lalu di Spanyol dan Portugis, juga di
beberapa pegunungan di Amerika Serikat, perkawinan dengan gadis-gadis muda
masih berlaku. Sastrawan dan filosof Mesir kontemporer, Anis Manshur (lahir
Agustus 1924), dalam bukunya Min
Awwal Nazhrah, mengutip uraian Nena Beton
dalam bukunya yang menguraikan “Cinta dan Orang-orang Spanyol”, bahwa telah
menjadi kebiasaan masyarakat pada abad ke-12 dan ke-13 menikahkan anak-anak
lelaki mereka pada usia sangat muda. Ini disebabkan karena para tuan tanah
merampas anak-anak kecil dan mempekerjakan mereka tanpa imbalan. Demikian uraian
Anis Mansur yang dikutip oleh Quraish Shihab.
King Henry V, ancestor of Queen Elizabeth, Queen of England, about
500 years ago married with six young girls. Even until a few years ago in Spain
and Portugal, also in some mountains in United States, marriages with young
girls still valid. Contemporary Egyptian poet and philosophers, Anis Manshur (born
August 1924), in his book Min Awwal
Nazhrah, quoting Nina Epton’description in his book that describes, “Love
and The Spanish”, that has become the habit of the people in the 12th
and 13th century marry off their sons at a young age. This is
because the landlords seize little children and employed them without reward. Thus
Anis Mansur’s description quoted by Prof. M. Quraish Shihab.
Agaknya, seperti disimpulkan oleh Prof. M. Quraish Shihab dari
uraian di atas, kebiasaan masyarakat Arab masa lalu itu untuk mengawinkan
putri-putri mereka yang masih kecil dikarenakan mereka khawatir anak
perempuannya terlantar atau diperkosa akibat perang antar-suku. Dengan menikahkan
mereka sejak kecil, maka akan bertambah perlindungan atas mereka dari suami dan
suku suaminya.
Presumably, as summed up by Prof. M. Quraish Shihab from the above
description, Arab people's habits of the past to marry their young daughters because
they were worried about their daughter abandoned or raped as a result of
inter-tribal warfare. With marry them since childhood, it will increase their protection
from her husband and her husband tribe.
Di sisi lain, perempuan yang tinggal di daerah tropis sering kali
lebih cepat dewasa dibandingkan dengan mereka yang bermukim di daerah-daerah
dingin. Tidak jarang dalam usia 8 tahun gadis-gadis di sana telah menstruasi. Dalam
kasus Aisyah, “kesiapan untuk dinikahi” ini dapat dibuktikan dengan telah
dilamarnya ia – sebelum Rasulullah melamar .– oleh Jubair bin Muth’im bin ‘Adi.
Tetapi proses pernikahan mereka tertunda karena ke dua orang tua Jubair
khawatir anaknya memeluk agama Islam. Karena berlarutnya penundaan itu, maka
Abu Bakar ra., ayah kandung Aisyah ra., secara baik-baik mendatangi keluarga
Jubair, lalu mereka sepakat membatalkan lamaran tersebut.
On the other hand, females living in the tropics often grown faster
than those who live in cold regions. Not often in the age of 8 year old girls
there had menstruation. In the case of Aisha, “readiness for marriage” this can
be proved by her has been proposed - before the Prophet porpose – by Jubair bin
Muth’im bin ‘Adi. But their marriage process was delayed because Jubair’s parents
worry their son convert to Islam. Because of the protracted delay, then Abu
Bakr (r.a.) Aisha’s father came to Jubair’s family well nicely and then they
agreed to cancel the porpose.
Itulah standar nilai yang berlaku pada masa itu. Tentunya kita tidak
ingin membandingkan standar nilai di generasi masa lalu dengan standar nilai di
era modern.
That is the standard values prevailing at that time. Obviously
we do not want to compare the standard of value in the past generation with a
standard value in the modern era.
Kesimpulan
ini juga menggiring kita untuk tidak menjadikan semua pengalaman Nabi
saw., dalam bidang non-ibadah murni (bukan ibadah mahdhah), sebagai
sesuatu yang baik untuk diteladani. Bukan saja karena beliau adalah nabi yang
memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan kita tetapi juga karena adanya
perkembangan masyarakat yang menjadikan masa kita tidak sepenuhnya sama dengan
masa Nabi saw. Ada nilai-nilai yang bergeser.
This conclusion leads us to not make all the Prophet's
experience in the field of non-worship pure (not worship mahdhah), as a good thing to be imitated. Not only because he is a
prophet who has rights and obligations are different from us but also because
of the development of society that makes our time is not entirely the same as
the time of the Prophet Muhammad. There are values shifted.
Wallahu a’lam.
No comments :
Post a Comment