Table of Contents

Monday, May 25, 2015

Mengklarifikasi Riwayat Pernikahan Rasulullah Saw dengan Aisyah r.a.

Clarify The Marriage History of the Prophet with Aisha (r.a)



Tulisan ini mencoba mengklarifikasi riwayat pernikahan Rasulullah dengan Aisyah r.a yang telah berabad-abad lamanya diyakini secara tidak rasional. Dan efeknya, orientalis Barat pun memanfaatkan cela argumen data pernikahan ini sebagai alat tuduh terhadap Rasulullah dengan menganggapnya Pedofilia. Mari kita buktikan. Secara keseluruhan data-data yang dipaparkan tulisan ini diambil dari hasil riset Dr. M. Syafii Antonio dalam bukunya, Muhammad SAW The Super Leader Super Manager (2007).

This paper attempts to clarify the history of the Prophet with Aisha's marriage that had for centuries believed to be irrational. And the effect, western orientalists also take advantage of this gaps data argument marriage as a means of accusations against the Prophet as pedophilia. Let us prove it. Overall the data presented this paper is taken from the results of research Dr. M. Syafii Antonio in his book, Muhammad SAW The Super Leader Super Manager (2007).

Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur dibawah 18 tahun , dan calon isteri dibawah 16 tahun.

In 1923, the marriage registrar in Egypt were instructed to refuse registration and refused to issue a marriage license for candidates husband under 18 years old and candidates wife under 16 years old.

Tahun 1931, Sidang dalam organisasi - organisasi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur yang disebutkan diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982).

In 1931, the trial in the law organizations and sharia establishes to not respond to marriage for couples with age as mentioned above (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982).

Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima.

It shows that although in Egypt state that the majority of Muslim marriage age children is unacceptable.

Nabi memang seorang yang gentleman dan dia tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadist. Lebih jauh, Saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya. Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tersebut sangat bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisyanm ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.

The Prophet is a gentleman and he did not marry an innocent girl aged 7 or 9 years. Age of Aisha has been wrongly recorded in the hadith literature. Furthermore, I think that the story that mentions this is not to be trusted. Some hadith (Prophet’s traditions) which tells the story of Aisha's age at the time of her marriage to the Prophet, the hadiths are very problematic. I will present some evidence against imaginary told ibn `Urwah Hisyanm and to clear the name of the Prophet of designation an irresponsible parent who married innocent girl 7 years old.


9 Bukti Nabi Muhammad TIDAK Menikahi Aisyah Dibawah Umur
9 Evidences of the Prophet Muhammad Marry Aisha NOT Underage


1. Kualitas Sumber Hadits
    Quality Source Hadith


Hadits terkait umur Aisyah saat menikah tergolong problematic alias dho’if. Sebagaian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang didengarnya sendiri dari ayahnya. Yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist yang sama juga. Mengherankan mengapa hanya dia saja satu-satunya yang pernah menyatakan tentang umur pernikahan ‘Aisyah r.a tersebut. Tidak ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisyam ibn `Urwah tinggal hingga berusia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan ada banyak murid di Madinah termasuk yang terkenal Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini. Riwayat ini berasal dari orang-orang Irak, dimana Hisham tinggal disana dan pindah dari Madinah ke Irak pada usia tua. Hisyam ibn ‘Urwah pindah dan menetap di negeri itu pada usia 71 tahun.

Hadith related to Aisha’s age when she married classified as problematic alias dho'if. Most of the history that tells it which is printed on all hadiths narrated only by Hisham ibn `Urwah, he heard himself from his father. Where it should be at least 2 or 3 people have noted the same hadith. Wonder why he just the only one who ever expressed about the Ayesha’s marriage age. No one in Madinah, where Hisham ibn `Urwah lived up to 71 years old said this new, besides the fact that there are many students in Madinah including the famous Malik ibn Anas, not mention this. This story comes from the people of Iraq, where Hisham ibn ‘Urwah lived there and moved from Madina to Iraq in old age. Hisham ibn ‘Urwah moved and settled in the country at the age of 71 years old.

Tahdzib al Tahdzib, salah satu buku yang terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Ya’qub ibn Syaibah mencatat : ”Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq.” Shaibah menambahkan, bahwa Malik bin Anas menolak penuturan Hisyam yang dicatat dari orang-orang Iraq. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib. Dar Ihya al-Turats al-Islami, Jilid II, hal. 50).

Tahdzib al Tahdzib, one of the famous book that contains a record of the narrators of hadith, by Ya'qub ibn Abi Shaybah notes : “Hisham is trustworthy, his narrative can be accepted, except what he told after moving to Iraq.” Shaybah added, that Malik bin Anas reject the narrative of Hisham noted from the people of Iraq. (Ibn Hajar Al-Asqalani, Tahdzib al Tahdzib. Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, Volume II, p.50).

Mizanu’l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Rasulullah Saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham sangat menurun.” (Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301). (Al-Maktabah Al-Athriyah, Jilid 4, hal. 301). Akhirnya, riwayat umur pernikahan Aisyah yang bersumber dari Hisyam ibnu ‘Urwah, ditolak.

Mizanu’l-ai`tidal, another book which contains the narrators biographical description of Prophet Rasulullah record, “when old age, Hisham’s memory is decreased.” (Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301). (Al-Maktabah Al-Athriyah, Volume  4, p. 301). Finally Ayesha’s age marriage history sourced from Hisham ibn 'Urwah, rejected.

*  KESIMPULAN : 
Berdasarkan referensi ini, ingatan Hisham sangat jelek dan penuturannya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga penuturannya  mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.

*  CONCLUSION : 
Based on this reference, Hisham Ibn “Urwah’s memories is very bad and  his narrative after moving into Iraq are not to be trusted, so that his statement about Ayesha’s age was not credible.

Kronologis Kejadian
Chronological Order of Events

Pra-610 M       :  Zaman Jahiliyah (era pra-Islam) sebelum wahyu diturunkan
Pre-610 AD     :  The times of Ignorance (pre-Islamic era) before revelation revealed

610 M              :  Permulaan wahyu pertama diturunkan
610 AD           :  The beginning of the first revelation was revealed

610 M              :  Abu Bakar ra. masuk Islam
610 AD           :  Abu Bakr embraced Islam

613 M              :  Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan Islam secara terbuka
613 AD           :  Prophet Muhammad began preaching Islam openly

615 M              :  Hijrah I umat Islam ke Habsyah (sekarang bernama Etiopia)
615 AD           :  Muslims first migrated to Habasyah (now called Ethiopia)

616 M              :  Umar bin al-Khattab masuk Islam
616 AD           :  Umar bin al-Khattab embraced Islam

620 M              :  Rasulullah meminang Aisyah r.a 
620 AD           :  Prophet Muhammad proposed Aisha r.a

622 M              :  Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Madinah
622 AD           :  Migrated to Yathrib, later renamed Medina

623/624 M       :  Nabi Muhammad SAW menikahi Aisyah r.a
623/624 AD    :  Prophet Muhammad married Aisha (r.a.)


2. Melamar
          Propose


Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibnu `Urwah, Ibnu Hunbal and Ibnu Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun.

According to Tabari (also according to Hisham ibn `Urwah Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisha proposed at 7 years old and began to marry at 9 years old.

Jika Aisyah dinikahkan pada umur 6 tahun, itu berarti Aisyah lahir pada tahun 613 M.
If Aisha was married at 6 years old, it means that Aisha was born in the year 613 AD.

Padahal menurut Al-Thabari, semua anak Abu Bakar (r.a.) berjumlah 4 orang, lahir pada zaman Jahiliyah dari 2 istrinya, yaitu sebelum tahun 610 M.  (Tarikhu’l-umam wa’l-mamlu’k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979).

Whereas according to Al-Tabari, all of Abu Bakr’s (r.a.) children amounted to 4 people, born in the days of ignorance of his 2 wives, ie before the year 610 AD.

Jika Aisyah dilamar 620 M (Aisyah berumur 7 tahun) dan berumah tangga pada tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah usai (610 M).

If Aisha proposed 620 AD (Aisha’s was 7 years old) and married in 623/624 AD (age 9), this indicates that Aisha was born about 613 AD.  So based on Al Thabari’s writings, Aisha should have been born in 613 AD, ie after 3 year period of ignorance is over (610 AD).

Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikahi. Tetapi intinya, Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.

Thabari also states that Aisha was born at the time of ignorance. If Ayesha was born in the era of Ignorance, Aisha should have a minimum of 14 years old when married. But the point, Thabari experienced a contradiction in his narrations.

*  KESIMPULAN : Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.

*  CONCLUSION   :  Al-Tabari is not reliable about Aisha’s age when she married.


3. Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah
          Aisha’s age if associated with Fatimah’s Age


Menurut Ibnu Hajar, “Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah ”. (Al-isabah fi tamyizi’l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).
According to Ibn Hajar, "Fatima was born when the Kaaba rebuilt, when the Prophet was 35 years old ... Fatima 5 years older than Aisha." (Al-Isabah fi tamyizi'l-Sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu'l-Riyadh al-Haditha, al-Riyadh, 1978).
Jika pernyataan Ibnu Hajar berdasarkan fakta, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Rasulullah pada saat Rasulullah berusia 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.

If Ibn Hajar‘s statement based on facts, means Aisha was born when the Prophet Muhammad was 40 years old. If Aisha married to Prophet Muhammad when the Prophet Muhammad was 52 years old, so Aisha’s age when she married is 12 years old.

*  KESIMPULAN : 
Ibnu Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Itu berarti bahwa riwayat Aisyah menikah pada usia 7 tahun adalah salah.

*  CONCLUSION : 
Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham and Ibn Humbal contradiction with each other. Means the history of Aisha married at 7 years old is wrong.


4. Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’
          Aisha’s age is calculated from the age of Asma's age


Jika Aisyah ra dinikahkan sebelum 620 M, maka beliau dinikahkan pada umur di atas 10 tahun dan hidup sebagai suami isteri dengan Nabi Muhammad SAW dalam umur di atas 13 tahun.

If Aisha (r.a.) was married before 620 AD, then she married at the age above 10 years old and live as husband and wife with the Prophet Muhammad at the age above 13 years old.

Jika di atas 13 tahun, dalam umur berapa pastinya beliau dinikahkan dan serumah? Untuk itu kita perlu melihat kepada kakak perempuan Aisyah ra. yaitu Asma.

If over 13 years old, surely in what age she married and at home? For that we need to look to Aisha (r.a.) ‘s older sister ie Asma’.

Menurut Abdul Rahman ibn Abi Zannad, “Asma’ lebih tua 10 tahun dari Aisyah.”
(Siyar A`la’ma’l-nubala’, Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992). (At-Thabari, Tarikh Al-Mamluk, Jilid 4, hal. 50. Tabari meninggal 922 M).

According to Abdul Rahman ibn Abi Zannad, “Asma was 10 years older than Aisha.”
(Siyar A`la’ma’l-nubala’, Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992). (At-Thabari, Tarikh Al-Mamluk, Volume 4, p. 50. Thabari died 922AD ).

Menurut Ibnu Kathir, “Asma’ lebih tua 10 tahun dari adiknya, Aisyah.”
(Al-Bidayah wa’l-nihayah, IbnKathir, Jilid. 8, hal. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).

According to Ibn Kathir, “Asma’ was 10 years older than her sister, Aisha.”
(Al-Bidayah wa’l-nihayah, IbnKathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).

Menurut Ibnu Kathir, Asma’ melihat anaknya (Abdullah Ibn Zubair) dibunuh pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut riwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Ketika Asma meninggal, dia berusia 100 tahun. (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Jilid. 8, hal. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933).

According to Ibn Kathir, Asma’ saw her son (Abdullah Ibn Zubair) was killed in the year 73  AH, and 5 days later Asma' died. According to other narratives, she died 10 or 20 days later. The most powerful narrative that is 100 days later. When Asma' dies, she was 100 years old. (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933).

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, “Asma hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal pada tahun 73 or 74 H.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow). (Al-Asqalani, Taqrib al-Tahzib, hal. 654).

According to Ibn Hajar Al-Asqalani, “Asma’ lived to be 100 years and died in the year 73 or 74 AH.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow). (Al-Asqalani, Taqrib al-Tahzib, p. 654).

Menurut sebagian besar ahli sejarah, Asma’, saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma’ wafat pada usia 100 tahun di tahun 73 H, Asma’ seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M).

According to most historians, Asma’, Aisha’s the oldest sister different age of 10 years. If Asma’ died at the age of 100 years in the year 73 AH, Asma' was supposed aged 27 or 28 years old when the hijra (622 AD).

Jika Asma’ berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun (27 atau 28) – 10 = 17 atau 18 tahun). Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika Aisyah berumah tangga.

If Asma’ was 27 or 28 years old when the hijra (when Aisha married), Aisha should have 17 or 18 years old (27 or 28) – 10 = 17 or 18 years old). So, Aisha was 17 or 18 years old when she married.

Berdasarkan Ibnu Hajar, Ibn Kathir, and Abdurrahman Ibn Abi Zannad, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.

According to Ibn Hajar, Ibn Kathir and Abdurrahman Ibn Abi Zannad, Aisha’s age when she married the Prophet was 19 or 20 years old.

*  KESIMPULAN : 
Ibn Hajar tidak valid dalam meriwatkan usia Aisyah.

*  CONCLUSION : 
Ibn Hajar is not valid in narrative the Aisha’s age.


5. Perang Badar dan perang Uhud
          Battle of Badr and Uhud


Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijelaskan dalam hadist Muslim, (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab karahiyati’l-isti`anah fi’l-ghazwi bikafir).

A narrative regarding Aisha's participation in the Battle of Badr is described in Muslim hadith, (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab karahiyati’l-isti`anah fi’l-ghazwi bikafir).

Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan, “ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini terlihat jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.

Aisya, when she told one of the crucial moments in the trip during the Battle of Badr, said, “when we reached Shajarah”. From this statement clearly visible, Aisha is a member of the journey to the Battle of Badr.

Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam perang Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab. Ghazwi’l-nisa’ wa qitalihinnama`a’lrijal), “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. (Pada hari itu) saya melihat Aisyah dan Ummu-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya (untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tersebut).”

A narrative regarding Aisha's participation in the battle of Uhud recorded in Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Chapter Ghazwi’l-nisa’ wa qitalihinnama`a’lrijal), “Anas reports that on the day of Uhud, people can not stand close to the Prophet Muhammad. (On that day) I saw Aisha and Ummu Sulaym from afar. They roll up a little clothes (to avoid any hindrance in the movement).”

Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud and Badr.

Again, this indicates that Aisha participated in the battle of Uhud and Badr.

Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b), “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada saat itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika dia berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tersebut.”

Narrated by Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Chapter Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b), “Ibn `Umar states that the Prophet Muhammad did not allow himself to participate in the battle of Uhud, at the time he was 14 years old.  But when the battle of Khandaq, when he was 15 years old, Prophet Muhammad allows him to participated in the battle.”

Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyah ikut dalam perang badar dan Uhud.

Based on the above narratives, (a) children under 15 years old will be sent home and not allowed to participate in the war, and (b) Aisha participated in the battle of Badr and Uhud.

*  KESIMPULAN : 
Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam medan perang berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah. 

*  CONCLUSION : 
Aisha participated in the battle of Badr and Uhud clearly indicates that she is not 9 year old when it, but at least age 15 years old. Besides that, women accompany men to the battlefields serves to help, not to be a burden for them. This is another evidence of the contradictions of Aisha’s age marriage.


6. 54. Surat Al-Qamar (Bulan)
         54. Surah Al-Qamar (The Moon)


Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke-8 sebelum Hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini, “Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab) ketika Surah Al-Qamar diturunkan”. (Shahih Bukhari, kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).

According to some narrations, Aisha was born on the 8th year before Hijra. But according to other sources in Bukhari, Aisha reported to have said, “I am a young girl (jariyah in Arabic) when Surah Al-Qamar was revealed”. (Sahih Bukhari, kitabu’l-tafsir, Chap. Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).

Surah ke 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke-8 sebelum hijriyah (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tersebut diturunkan pada tahun 614 M. Jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah dalam bahasa Arab) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon). Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikahi oleh Nabi.

Sura 54 of the Koran were revealed in the 8th before hijra (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), indicates that the surah was revealed in 614 AD. If Aisha started married to the Prophet Muhammad at 9 years old in 623 AD or 624 AD, she was a newborn (sibyah in Arabic) at the time of Surah Al-Qamar was revealed. According to the above narrative, actually seems that Aisha was a young girl, not newborns when revelation of Al-Qamar. Jariyah means young girl still likes to play (Lane’s Arabic English Lexicon). So, Aisha has become jariyah not sabyah (baby), so has aged 6-13 years old at the time of revelation of Al-Qamar, and therefore it is definitely 14-21 years old when she married the Prophet Muhammad.

*  KESIMPULAN : 
Ayat ini juga berlawanan dengan Aisyah berusia 9 tahun saat menikah.

*  CONCLUSION : 
This verse is also contrary to the narration Aisha was 9 years old when she married.


7. Terminologi bahasa Arab
          Arabic Terminology


Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, setelah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi. Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata, “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.

According to Ahmad ibn Hanbal’s narration, after the Prophet Muhammad's first wife died, Khadijah, Khaulah came to the Prophet and advised the Prophet to marry again. The Prophet asked her about the choices that exist in the Khaulah’s mind. Khaulah said, “You can marry a girl (bikr) or a woman who ever married (thayyib)”. When the Prophet inquired about the identity of the girl (bikr), Khaulah mentioned Aisha’s name.

Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata “bikr” dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah “jariyah”. Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin”. Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Jilid. 6, hal. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).

For people who know the Arabic language will be immediately viewed that word “bikr” in Arabic not used to young girls aged 9 years old. The correct word for a young girl who still like to play is “jariyah”. “Bikr” on the other hand, is used for an unmarried woman and have not had experience with marriage, as we know in English “virgin”. Therefore, obvious that a 9 years old girl is not a “woman” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).

*  KESIMPULAN : 
Arti literal dari kata “bikr - gadis”, dalam hadist diatas adalah “wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.” Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.

*  CONCLUSION : 
The literal meaning of the word “bikr – girl”, in the above hadith is “adult women who have not had sexual experience in marriage”. Therefore, Aisha was an adult woman of her marriage.


8. Teks Qur’an
          Text Quran


Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?  

All Muslims agree that the Quran is a book of instructions. So, we need to seek guidance from the Quran to clear the confusion created by the narrator in the classical Islamic period about Aisha’s age and her marriage. Does the Quran allow or disallow marriage of an immature child of 7 years old?

Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri.

There are no verses that explicitly allow such marriage. There is a verse, howsoever, that guides Muslims in educating and treating orphans. Quran instructions regarding orphan children is also valid treatment applied to our own own children alone.

Ayat tersebut mengatakan :
The verse says:

An-Nisaa' (Wanita) : 5, “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya*, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

An-Nisā' (The Women) : 5, “And do not give the *weak-minded your property, which Allah has made a means of sustenance for you, but provide for them with it and clothe them and speak to them words of appropriate kindness”.

An-Nisaa’ (Wanita) : 6, “ Dan ujilahanak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”.

An-Nisā' (The Women) : 6,  “And test* the orphans [in their abilities] until they reach marriageable age. Then if you perceive in them sound judgement, release their property to them. And do not consume it excessively and quickly, [anticipating] that they will grow up. And whoever, [when acting as guardian], is self-sufficient should refrain [from taking a fee]; and whoever is poor - let him take according to what is acceptable. Then when you release their property to them, bring witnesses upon them. And sufficient is Allah as Accountant.

Dalam hal seorang anak yang ditinggal orang tuanya, seorang muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka terhadap kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.

In the case of a child abandoned by their parents, a Muslim is commanded to (a) feed them, (b) provide clothing, (c) educate them, and (d) test them to maturity "until the age of marriage" before entrusting them with managing finances.

Disini, ayat Qur’an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.

Here, the verses of the Qur'an states about the demands meticulous proof of the level of intellectual maturity and physically through objective test results before the age of marriage and to entrust the management of property to them.

Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, gadis tersebut tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambi tugas sebagai isteri. Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai bahwa Abu Bakar sebagai  seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun dengan Nabi yang berusia 50 tahun. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.

In above verses are very clearly, none of the Muslims who are responsible will do the transfer of financial management to a young girl aged 7 years old. If we can not trust a young girl aged 7 years in managing finances, the girl is not qualified intellectually and physically to get married. Ibn Hanbal (Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol.6, p. 33 and 99) states that Aisha was 9 years old were more interested in playing with her toys rather than taken the task as a wife. Therefore, it is difficult to believe, that Abu Bakr as a Muslim figure, would engaged his 7 years old girl to 50 year old Prophet. As difficult to imagine that the Prophet Muhammad married a 7 years old young girl.

*  KESIMPULAN : 
Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karean itu, Cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.

*  CONCLUSION : 
Aisha’s age marriage at 7 years old will against the legal maturity stated by Koran. Therefore, the story of Aisha 7 year old marriage is a myth.


9. Izin Menikah
          Marriage license


Seorang wanita harus ditanya dan dimintai persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.

A woman should be questioned and asked for approval before the wedding she did become valid (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Islamically, credible consent of a woman is a basic requirement for the validity of a marriage.

Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai keabsahan sebuah pernikahan.

By developing this logical condition, approval given by immature 7 years old girl could not be authorized as the validity of a marriage.

*  KESIMPULAN : 
Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami tentang klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan, Rasulullah menikahi Aisyah, seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.

*  CONCLUSION : 
Prophet Muhammad did not marry a 7 year old girl because it will not meet the basic requirements an Islamic marriage about clauses consent of the wife. Therefore, there is only one possibility, the Prophet married Aisha, an adult woman intellectually and physically.


RINGKASAN
SUMMARY


Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun. Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah saw dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernah keberatan dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.

There is no Arab tradition to marry a 9 years old girl or a boy. Likewise, there is no marriage of the Prophet and Aisha when she was 9 years old. Arab people never objected to this marriage, because this had never happened, as the contents of some of history.

Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik Ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak dapat diandalkan. Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka bertentangan satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.

Obvious, Ayesha’s age marriage at 9 years old narrative by Hisham ibn `Urwah can not be regarded as truth, and the contradictions with other narrations. Further, there is no real reason to accept Hisham ibn `Urwah’s narratives as truth when other experts, including Malik Ibn Anas, see Hisham ibn `Urwah’s narratives over in Iraq is not reliable.  Statements of Thabari, Bukhari and Muslim shows they contradict each other regarding the age of marriage for Aisha. Some experts narrator suffered internal contradiction with its own narrative. So, Aisha 9 years old marriage history is not reliable because of the apparent contradiction in the classical notes of Islamic history expert.

Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tersebut dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.

Therefore, there is no absolute reason to accept and trust Aisha 9 years old when she married as a truth caused quite a lot of background to deny the history and deserve to be called as a myth. Further, Qur'an refusing to marry immature boy and girl as it is not feasible to impose on them the responsibility.

Mengenai pertanyaan yang diajukan oleh sebagian non Muslim tentang pernikahan Rasulullah  dengan Aisyah ra. yang dianggap masih di bawah umur, itu pun termasuk persoalan yang terkadang sulit dipahami. Tetapi, yang cukup mengherankan, pertanyaan serupa tidak pernah terdengar dari musuh-musuh Rasulullah pada masa beliau masih hidup. Ini artinya apa? Artinya, pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. itu bukan suatu persoalan pada masa itu! Kritik orang terhadap pernikahan Rasulullah Saw dengan Aisyah ra. yang dinilai masih di bawah umur, karena pada umumnya orang-orang tersebut menggunakan standar zaman sekarang untuk menilai sesuatu yang terjadi 14 abad yang lalu.

Regarding the questions raised by some non-Muslims about the marriage of the Prophet Muhammad to Aisha that is still under age. It also includes issues that sometimes are hard to comprehend. But, which is quite surprising, similar questions are not unheard of enemies of the Prophet at the time he was alive. What does this mean? It means Prophet Muhammad married  Aisha (r.a.) was not an issue at that time! The criticism of the marriage of the Prophet with Aisha still underage, because in general people are using today's standards to judge something that happened 14 centuries ago.

M. Quraish Shihab dalam bukunya Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih (Cet. I, Juni 2011), mengemukakan “keheranannya” terkait kritik orang-orang terhadap pernikahan Rasulullah dengan Aisyah ra. Katanya, “Ada kritik yang ditujukan kepada Nabi saw oleh sementara orang yang hidup ratusan tahun setelah pernikahan tersebut, namun tidak terdengar kritik apa pun, apalagi cemoohan, dari mereka yang semasa dengan Rasulullah walau dari musuh-musuh beliau yang selalu berusaha mendiskreditkan beliau.” (halaman 530). Lebih lanjut, M. Quraish Shihab mengatakan, “Ini karena pada masa lampau, sebelum dan pada masa Rasul bahkan beberapa generasi sesudahnya, menikahi perempuan yang seusia dengan anak kandung merupakan sesuatu yang lumrah dalam masyarakat umat manusia. Terbaca dalam uraian yang lalu tentang perkawinan ayah Nabi, Abdullah, bagaimana ayahnya, yakni Abdul Muththalib, juga menikahi perempuan yang sebaya dengan istri anaknya, yakni Halah, anak paman Aminah.” (hlm 530).

M. Quraish Shihab in his book Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih (Edition I, June 2011), suggests “his astonishment” amid criticism of the people against the Prophet's marriage with Aisha. His said, “There is criticism directed toward the Prophet by while people who lived hundreds of years after the marriage, but not heard any criticism, moreover scorn, of their contemporaries Prophet even from his enemies who are always trying to discredit him”. (page 530).  Furthermore, M. Quraish Shihab said, “This is because in the past, before and at the time of the Prophet even generations later married women the same age as biological children is something that is commonplace in the community of mankind. Read the description ago about the marriage of the Prophet's father, Abdullah, namely Abdul Muttalib, as his father had also married a woman the same age as his son’s wife, namely Halah, Aminah’s uncle daughter”. (page.530).

Di halaman yang sama buku itu, Prof. Quraish Shihab juga memaparkan fakta sejarah bahwa Umar bin Khaththab ra. menawarkan anaknya yang muda belia, Hafshah, yang sebaya dengan Aisyah, untuk dinikahi Utsman ra. Juga Umar bin al-Khaththab menikahi putri Ali bin Abi Thalib yang dapat dinilai sebagai semacam pernikahan antara “kakek dengan cucu”. Demikian juga halnya pernikahan Zaid ibn Haritsah, bekas anak angkat Rasulullah, dengan Ummu Aiman, wanita yang mengasuh Nabi sewaktu kecil. Ini serupa juga dengan pernikahan “nenek” dengan cucunya. Demikian kurang lebih uraian Prof. M. Quraish Shihab.

On the same page of the book, Prof. Quraish Shihab also explained the historical fact that Umar Bin Khaththab (ra.) offer his young girl, Hafshah, contemporaries Aisha, to marry Othman (ra.). Also Umar bin al-Khattab married Ali bin Abi Thalib’s daughter, which can be considered as a kind of marriage between “grandparents and granddaughter”. Similarly, Zaid ibn Haritha’s marriage, Prophet Muhammad’s former foster child, with Ummu Aiman, women who take care of the Prophet as a child. It is similar with grandmother with her grandson's wedding. Thus more or less description of Prof. M. Quraish Shihab.

Jadi, dapat kita katakan bahwa pernikahan seorang lelaki tua dengan perempuan yang relatif masih sangat muda adalah hal yang biasa pada masyarakat masa itu. Bukan sesuatu yang aneh, apalagi aib. Dan itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Arab, tetapi juga pada masyarakat lain.

So, we can say that the marriage of an old man with a female relative was still very young was common in the society at that time. Not something strange, moreover disgrace. And it's not just happening in Arab society, but also in other societies.

Raja Henry Ke-5, leluhur Ratu Elizabeth, Ratu Inggris, sekitar 500 tahun yang lalu menikah dengan 6 orang gadis yang muda. Bahkan hingga beberapa tahun yang lalu di Spanyol dan Portugis, juga di beberapa pegunungan di Amerika Serikat, perkawinan dengan gadis-gadis muda masih berlaku. Sastrawan dan filosof Mesir kontemporer, Anis Manshur (lahir Agustus 1924), dalam bukunya Min Awwal Nazhrah, mengutip uraian Nena Beton dalam bukunya yang menguraikan “Cinta dan Orang-orang Spanyol”, bahwa telah menjadi kebiasaan masyarakat pada abad ke-12 dan ke-13 menikahkan anak-anak lelaki mereka pada usia sangat muda. Ini disebabkan karena para tuan tanah merampas anak-anak kecil dan mempekerjakan mereka tanpa imbalan. Demikian uraian Anis Mansur yang dikutip oleh Quraish Shihab.

King Henry V, ancestor of Queen Elizabeth, Queen of England, about 500 years ago married with six young girls. Even until a few years ago in Spain and Portugal, also in some mountains in United States, marriages with young girls still valid. Contemporary Egyptian poet and philosophers, Anis Manshur (born August 1924), in his book Min Awwal Nazhrah, quoting Nina Epton’description in his book that describes, “Love and The Spanish”, that has become the habit of the people in the 12th and 13th century marry off their sons at a young age. This is because the landlords seize little children and employed them without reward. Thus Anis Mansur’s description quoted by Prof. M. Quraish Shihab.

Agaknya, seperti disimpulkan oleh Prof. M. Quraish Shihab dari uraian di atas, kebiasaan masyarakat Arab masa lalu itu untuk mengawinkan putri-putri mereka yang masih kecil dikarenakan mereka khawatir anak perempuannya terlantar atau diperkosa akibat perang antar-suku. Dengan menikahkan mereka sejak kecil, maka akan bertambah perlindungan atas mereka dari suami dan suku suaminya.

Presumably, as summed up by Prof. M. Quraish Shihab from the above description, Arab people's habits of the past to marry their young daughters because they were worried about their daughter abandoned or raped as a result of inter-tribal warfare. With marry them since childhood, it will increase their protection from her husband and her husband tribe.

Di sisi lain, perempuan yang tinggal di daerah tropis sering kali lebih cepat dewasa dibandingkan dengan mereka yang bermukim di daerah-daerah dingin. Tidak jarang dalam usia 8 tahun gadis-gadis di sana telah menstruasi. Dalam kasus Aisyah, “kesiapan untuk dinikahi” ini dapat dibuktikan dengan telah dilamarnya ia – sebelum Rasulullah melamar .– oleh Jubair bin Muth’im bin ‘Adi. Tetapi proses pernikahan mereka tertunda karena ke dua orang tua Jubair khawatir anaknya memeluk agama Islam. Karena berlarutnya penundaan itu, maka Abu Bakar ra., ayah kandung Aisyah ra., secara baik-baik mendatangi keluarga Jubair, lalu mereka sepakat membatalkan lamaran tersebut.

On the other hand, females living in the tropics often grown faster than those who live in cold regions. Not often in the age of 8 year old girls there had menstruation. In the case of Aisha, “readiness for marriage” this can be proved by her has been proposed - before the Prophet porpose – by Jubair bin Muth’im bin ‘Adi. But their marriage process was delayed because Jubair’s parents worry their son convert to Islam. Because of the protracted delay, then Abu Bakr (r.a.) Aisha’s father came to Jubair’s family well nicely and then they agreed to cancel the porpose.

Itulah standar nilai yang berlaku pada masa itu. Tentunya kita tidak ingin membandingkan standar nilai di generasi masa lalu dengan standar nilai di era modern.

That is the standard values prevailing at that time. Obviously we do not want to compare the standard of value in the past generation with a standard value in the modern era.

Kesimpulan ini juga menggiring kita untuk tidak menjadikan semua pengalaman Nabi saw., dalam bidang non-ibadah murni (bukan ibadah mahdhah), sebagai sesuatu yang baik untuk diteladani. Bukan saja karena beliau adalah nabi yang memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan kita tetapi juga karena adanya perkembangan masyarakat yang menjadikan masa kita tidak sepenuhnya sama dengan masa Nabi saw. Ada nilai-nilai yang bergeser.

This conclusion leads us to not make all the Prophet's experience in the field of non-worship pure (not worship mahdhah), as a good thing to be imitated. Not only because he is a prophet who has rights and obligations are different from us but also because of the development of society that makes our time is not entirely the same as the time of the Prophet Muhammad. There are values shifted.

Wallahu a’lam.

No comments :

Post a Comment